Orang Jawa dan Sejarah Dokterswoning di Kota Metro

 

Awal mulanya, saya tidak begitu memperhatikan peninggalan-peninggalan sejarah di kota sendiri. Saya tahu beberapa tempat yang konon katanya sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Disitu sempat heran ternyata Belanda bisa sampai daerah tempat saya juga yang menurut saya jauh dari pusat kota bahkan Batavia. Rasa bertanya tanya itupun saya pendam lama.


Saya tidak menaruh perhatian pada hal sejarah khususnya sejarah kota saya sendiri pada awalnya. Namun karena sedari kecil tinggal bersama kakek yang senang bercerita kisah kisah masa lalu termasuk jaman masa transmigrasinya dan bagaimana dirinya migrasi dari Kebumen Jawa Tengah menuju ke Provinsi Lampung di tahun 50-an kepada saya, disitulah tertanam ketertarikan saya dengan sejarah tanpa sengaja. Saya tidak menyadari ketertarikan itu walaupun setiap saya berkunjung ke provinsi-provinsi lain bahkan negara lain, lokasi sejarah seperti museum, bangunan-bangunan tua, bahkan candi lah yang menjadi daftar tujuan utama saya. Hingga akhirnya banyak sekali bermunculan channel-channel sejarah di Youtube yang tanpa saya sadari telah saya ikuti yang membuat saya menjadi lebih tertarik untuk menelisik seluk-beluk kisah masa lalu sebuah bangunan sejarah. Asik juga, gumam saya kemudian…


Setelah mengunjungi Museum Transmigrasi di Desa Bagelen, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung yang menjadi Sentral Kolonisasi Jawa pertama kali di Indonesia. Saya bergeser menuju ke lokasi cagar budaya di Kota Metro. Ada dua lokasi sejarah yang ditetapkan sebagai cagar budaya di Kota Metro tahun 2020 lalu, yaitu bangunan Dokterswoning dan Rumah Sakit Santa Maria. Pada tulisan saya kali ini, saya fokuskan untuk sedikit membahas sejarah rumah dokter atau Dokterswoning dulu yaa… 


Lokasi bangunan ini berada di Pusat Kota Metro tepat berada di depan Rumah Sakit Umum Ahmad Yani Kota Metro. Berada di Jalan Brigjend Sutiyoso No. 2 Metro, Kecamatan. Metro Pusat, Kota Metro, Provinsi Lampung. Bangunan ini ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Pemerintah Kota Metro Tahun 2020 dan dilindungi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cagar Budaya. Bangunan ini dimanfaatkan sebagai Rumah Informasi Sejarah (RIS) yang dapat dikunjungi oleh siapa saja. Rumah Dokterswoning ini buka setiap hari Senin sampai Jumat pukul 09.00 - 15.00.



Sekilas menelisik kisah orang Jawa di Lampung, kedatangan orang dari Jawa ke Provinsi Lampung pertama kali dilatarbelakangi oleh usulan Van Deventer tentang Politik Etis atau Sistem Balas Budi Pemerintah Hindia Belanda yang menitikberatkan pada tiga hal, yaitu Edukasi, Irigasi, dan Imigrasi orang-orang pribumi. 


Kolonisasi atau Kolonisastieproof oleh Central Kolonisatie Van Imheemsen (Komisi Pusat Emigran dan Kolonisasi Pribumi) pertama kali diuji coba dan dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1905 menuju ke Provinsi Lampung. Provinsi Lampung khususnya wilayah Gedong Tataan dipilih beralasan karena letak relatif dekat dengan Jawa, areal berada disekitar jalan utama, kontur tanah datar, sumber mata air banyak, sehingga disebut layak sebagai percontohan Kolonisasi. Kolonisasi tersebut terbagi atas tiga sistem yaitu dibiayai pemerintah tahun 1905-1911, Sistem Pinjaman Bank tahun 1912-1928, dan Sistem Bawon dari tahun 1932-1941, pada sistem bawon itulah program Kolonisasi ini menuai keberhasilan bahkan membuat semakin banyak sanak saudara orang-orang Jawa berpindah dan menetap ke Lampung. Keberhasilan orang-orang Jawa menduplikasi tata ruang kehidupan baik dari segi irigasi, areal sawah, arsitektur, tata ruang semakin meningkatkan kepercayaan Pemerintah Hindia Belanda terhadap program Kolonisasi (emigrasi). Sebenarnya perpindahan Orang Jawa ke Provinsi Lampung juga tercatat juga pada masa Kokumingkari Jepang di Lampung. Setelah masa kemerdekaan, perpindahan Orang Jawa ke Provinsi Lampung masih diteruskan oleh Pemerintah Indonesia melalui program Transmigrasi tahun 1950-an (Dahlan, M. Halwi, 2014).



Dijelaskan dalam buku Dokterswoning Sejarah Rumah Dokter Kota Metro yang ditulis dan disusun oleh Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Metro yang diterbitkan Aura Publisher tahun 2020, jadi setelah suksesnya ujicoba di Gedong Tataan (1905) dan Wonosobo (1921), maka Gedong Dalem yang berada dibawah Onderafdeling Sukadana yang berada di perkampungan masyarakat adat Lampung Marga Buay Nuban yang ramah dan terbuka dengan pendatang, menjadi jujugan atau tujuan Kolonisasi baru. Para Kolonisasi kemudian mulai menata kehidupannya dari membabat hutan untuk pemukiman, membuat rumah bedeng-bedeng beratapkan welit, bekerja di lahan milik pribumi, membuat bendungan, membuat irigasi, membuat lahan pertanian, semua dilakukan oleh kolonisasi untuk bertahan hidup di tanah migrain. Keberhasilan Kolonisasi kepresidenan Sukadana ini terlihat dengan jumlah penduduk atau kolonis menjadi dua kali lipat banyaknya dari penduduk kolonis Gedong Tataan yang  didirikan tahun 1905. Kemudian pembukaan areal Kolonisasi semakin diperluas ke daerah Way Seputih, Rumbia, Punggur, Raman, dan Way Jepara.



Ngomongin tentang bedeng-bedeng yang dijelaskan diatas nih guys, sampai saat ini kota Metro dan sekitarnya yang meliputi perbatasan Lampung Tengah dan Lampung Timur, mereka masih menggunakan penyebutan wilayah mereka dengan bedeng-bedeng misalnya bedeng 1, 2, 10, 15 ,19 , 20, dst sampai ke 50-an atau 60-an, saya sedikit lupa. Penempatan wilayah-wilayah dengan sebutan bedeng tersebut berjarak setiap beberapa kilo meter yang memudahkan para Kolonisasi membangun irigasi pada saat itu. Walaupun sebenernya setiap wilayah sudah memiliki nama desanya masing-masing, penyebutan bedeng lebih familiar dari pada nama desa. Nama desa-desanya pun di Provinsi Lampung memiliki keunikan tersendiri dikarenakan Kolonisasi ini, nama desa kebanyakan sama dengan nama nama daerah di Pulau Jawa. Hal tersebut dikarenakan para Kolonisasi atau Transmigrasi yang migrain ke Lampung memberi nama desa barunya sesuai dengan nama desanya di Pulau Jawa, tujuannya agar mereka kerasan atau betah dan menganggap itu adalah desa mereka sendiri seperti di Jawa. Oke, kita balik lagi ke Dokterswoning yaa…

Pemusatan ibu kota Kolonisasi di Onderafdeling Sukadana ini berada di Metro.  Metro sendiri sering diungkapkan oleh kaum kolonis sebagai "Mitro" atau dalam Bahasa Jawa artinya teman. Metro sendiri berasal dari istilah Mitropolis yang diungkapkan oleh HR. Rookmarker sebagai pemukiman yang akan berkembang dan maju pesat. Pada saat itu Metro memiliki seorang Controller, insinyur dan dokter pemerintah. Kota Kolonisasi juga memiliki pasar baroe, kantor pos, pesanggrahan, sekolah, masjid, dan penerangan. Semangat, kerja keras, guyub rukun, dan semangat gotong royong masyarakat kala itu menjadi nilai-nilai penting yang harus diambil dan diteladani oleh generasi penerus berikutnya. 


Wabah Malaria menjadi salah satu masalah besar bagi Kolonis di Wilayah Onderafdeling Sukadana ini. Sebagian terjadi di Wilayah Negeri Agoeng dan Niboeng yang sangat parah dan harus dihapuskan serta dipindahkan ke Kolonisasi Trimoerdjo. Malaria merupakan masalah yang cukup serius karena awal mulanya daerah Kolonisasi adalah wilayah bekas hutan dan rawa. Maka oleh karena itu sangat perlu adanya petugas kesehatan kala itu khususnya pada dokter. Pada tahun 1941 sudah memiliki dua orang dokter, 13 mantri juri rawat, 1 mantri Malaria, 80 pembagi kina, pembantu klinik dan 1 bidan.


Pada tahun 1940, seorang fotografer yang bekerja kepada pemerintah pusat Hindia Belanda di Batavia, yakni Jan Van de Klok mengambil gambar dan foto rumah Dokterswoning dan beberapa lainnya untuk keperluan pembuatan film propaganda Kolonisasi. Kini foto tersebut menjadi komumen arsip yang tersimpan di KITLV Leiden, dan sebagian di publikasikan dalam koleksi digital perpustakaan Universitas Leiden yang dapat diakses bebas. 



Dijelaskan dalam buku Dokterswoning juga, rumah bergaya arsitektur peninggalan Dutch Hindis ini merupakan rumah dinas bagi dokter pemerintah yang dibangun pada tahun 1939 dan selesai Februari 1940. Rumah ini dibangun pertama kali untuk dokter Kolonisasi yang ditugaskan di Kolonisasi Sukadana. Pada saat itu tercatat dokter pertama yang menempati bangunan tersebut bernama Mas Soemarno Hadiwinoto, seorang dokter lulusan Netherlandsch-Indische Artsen School (NIAS) Surabaya. 


Pada  era kemerdekaan, rumah dokter ini masih menjadi rumah dinas bagi dokter yang bertugas di Metro. Dalam buku Dokterswoning juga dijelaskan bahwa rumah ini pernah menjadi kediaman dr. Yoesoef pada tahun 1972, dr. Winaya Duarsa tahun 1972-1977. Pada masa dr Winaya inilah bangunan ini mengalami renovasi besar-besaran berupa penggantian tegel, penambahan atap pada serambi atau teras dan deformasi atap. Tahun 1977-1991 menjadi kediaman dr. Sofyan AT. Tahun 1992-1996 dr. Maryanto yang merupakan dokter terakhir yang menempati bangunan ini. Setelah ini masa orde baru dan pemekaran wilayah Lampung Tengah menjadi Kota Metro, bangunan ini dikelola oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD). Bangunan ini kemudian pemanfaatannya mengalami peralihan, mulai dari Rumah Makan Bu Endang, hingga bagian halaman dan sisi barat daya bangunan pernah digunakan sementara oleh UPT Kebersihan Dinas Tata Kota dan Lingkungan Hidup. 


Setelah tahu sejarahnya, yukk…kita lihat penampakan bangunannya sekarang. Bangunan ini terlihat sangat luar dengan luas 670 meter persegi. Sejauh yang saya amati dari bangunan-bangunan Belanda lainnya, bangunan rumah khas Belanda sangat memperhatikan sirkulasi udara, pencahayaan, dan juga suhu udara dalam ruangan. Hal tersebut mungkin saja karena Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis yang lebih hangat dibandingkan dengan Eropa. Saya mengamati ada ciri khas bangunan Dutch Hindis di Dokterswoning ini, yaitu adanya jendela jendela jendela besar yang dibuat simetris, jendela kayu disisi kanan kiri bangunan yang disusun miring memungkinkan udara dan cahaya masuk dengan baik ke dalam ruangan. Dinding bawah bangunan yang berelemen batu alam, tinggi dari bangunan yang dibuat tinggi masa itu, banyaknya ruangan namun banyak juga bukaan pintunya, warna bangunan putih yang menjadi ciri khas bangunan-bangunan bergaya Hindia Belanda kala itu walaupun aslinya bangunan ini juga pernah dicat kuning atau jingga dan ciri berikutnya adanya halaman yang sangat luas pada bagian depan serta  samping bangunan utama.



Saya merasa sangat nyaman berada di area bangunan ini, sangat sejuk dengan pohon-pohon rindang di halaman. Di dalam Bangunan pun terasa tidak panas dan nyaman untuk berkeliling walau tidak ada ACnya guys. Koloksian yang ditampilkan sesuai dengan tujuan awalnya sebagai pusat informasi Sejarah. Cerita Kolonisasi sampai sejarah Kota Metro terlampir di dinding-dinding dalam bangunan ini, semua lengkap dengan tertulis sumber-sumbernya yang jelas. Jadi bagi teman-teman yang perlu literatur untuk menulis karya tulis sejarah, bisa nih dateng kesini. Bagi peminat sejarah yang penasaran dengan sejarah Kolonisasi dan juga sejarah yang ada di Kota Metro, Rumah Dokterswoning inilah jawabannya. Bagi teman-teman yang mau berfoto ala bangunan-bangunan lama gitu kan, bisa mampir juga kesini. Di halaman depan juga disediakan fasilitas lengkap berupa kotak sampah, permainan ayunan dan jungkat-jungkit yang membuat bangunan ini asik juga loh untuk dikunjungi bersama anak-anak. 

Edisi jajal ayunan di halaman Dokterswoning, kuat kok untuk bocah gede kurang bahagia wkwk


Wahh… ternyata menarik  juga ya sejarah Kolonisasi Orang Jawa di Lampung khususnya di Kota Metro apalagi ada bukti sejarah berupa bangunan dan dokumentasinya. Bagi teman-teman yang berkunjung atau ingin berkunjung ke Kota Metro, jangan lupa mampir ke sini ya. Mungkin itu saja yang bisa saya ceritakan tentang bangunan ini. Terima kasih sudah mampir dan membaca disini yaa…. 


Salam Sejarah

Salam Literasi

Salam Backpacker 

👍


Sumber Referensi :

Dahlan, M. Halwi. 2014. Perpindahan Penduduk Dalam Tiga Masa: Kolonisasi, Kokumingkari, dan Transmigrasi di Provinsi Lampung (1905-1979). Dalam Jurnal Patanjali Vol. 6, No. 3, September 2014: 335-348.

Tim Ahli Cagar Budaya (TACB). 2020. Dokterswoning: Sejarah Rumah Dokter Kota Metro. Bandar Lampung: Aura Publisher. 


Yang males baca banyak tulisan saya diatas, bisa denger saya bercerita disini.. Hehe.. 






Tag:
Kolonisasi, kolonisasi pertama, sejarah kolonisasi, kolonisasi jawa, orang jawa, orang jawa di lampung, kolonisasi lampung, kolonisasi gedongtaan, sejarah transmigrasi, transmigrasi jawa, transmigrasi, metro, wisata metro, kolonisasi metro, sejarah metro, transmigrasi metro, orang jawa di metro, metro lampung, wisata sejarah metro

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.