Perhitungan Weton Jodoh / Pernikahan Dalam Budaya Jawa

Weton merupakan hitungan neptu hari dan pasaran ketika seseorang dilahirkan. Perhitungan weton dalam budaya Jawa dilakukan untuk berbagai hal seperti primbon Jawa mencari jodoh, mendirikan rumah, selametan atau syukuran lainnya. Menggunakan weton untuk menentukan jodoh bertujuan agar bahtera rumah tangga kedepannya diharapkan tidak celaka atau nelangsa/ susah. 

Sedangkan dalam penentuan pernikahan bertujuan agar pernikahan dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya gangguan dan bencana serta diharapkan kehidupan keduanya dalam berumah tangga diberikan kemudahan dan kebahagiaan.

Sumber : reepik - Master1305

Mari kita lihat dahulu sejarahnya yukkk....

Tradisi Weton Menurut Kihayat suku Jawa diawali dengan datangnya Aji Saka yang
berasal dari Bumi Majeti, sebuah negeri antah brantah dalam mitologis Jawa, namun ada yang menafsirkan bahwa Aji saka berasal dari Jambudwipa (India) dari suku Shaka (Scythia). Legenda ini melambangkan datangnya Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Budha) ke pulau Jawa. Ia dikisahkan sebagai pahlawan yang melawan prabu Dewata Cengkar raja raksasa yang memiliki kebiasaan memakan manusia.

Dalam kisah ini terdapat hubungan dengan kerajaan Medang Kamulan yang konon merupakan kerajaan pendahulu Kerajaan Medang (kerajaan mataram kuno), namun faktanya tidak ditemukan dalam catatan sejarah mengenai Kerajaan Medang Kamulan tersebut. 

Sangkan Kerajaan Medang atau disebut dengan Kerajaan Mataram Kuno berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, perlu diingat kerajaan inilah yang melahirkan karya agung manusia pada abad ke-8 berupa Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Kerajaan Medang bukanlah Kerajaan pertama di pulau Jawa, sebelumnya terdapat Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat pada abad ke-4 dan kerajaan Kanjuruhan di Jawa Timur pada abad ke-6. Dalam catatan sejarah pada masa Kerajaan Hindu Buddha yang diawali abad ke-4 hingga abad ke-15 dan kemudian dilanjut pada masa kerajaan Islam dimulai abad ke-12 hingga abad ke-19. Sehingga sejarah peradaban Jawa sangat kental diwarnai dengan kebudayaan Hindu-Buddha yang merupakan nenek moyang peradaban pertama kali di pulau Jawa. 

Dalam sejarahnya peradaban Jawa dalam penggunaan sistem kalendernya dimulai pada masa primitif Jawa yang menggunakan sistem kalender yang bernama “Pranata Mangsa” (ketentuan musim) yang merupakan kalender yang dikaitkan dengan kegiatan usaha pertanian bercocok tanam dan penangkapan ikan. Kalender ini berbasis peredaran matahari dan siklusnya berusia 365-366 hari dan dibagi dalam beberapa versi. Seiring dengan berjalannya waktu akhirnya Masyarakat Jawa membuat sistem kalender baru yang disebut dengan kalender Jawa.

Pada tahun 1633 Masehi bertepatan dengan tahun 1043 Hijriyah atau tahun 1555 Soko, Sri Sultan Muhammad yang terkenal dengan Sultan Agung Anyokrokusumo yang bertahta di Mataram, mengadakan perubahan dalam sistem kalender di Jawa. Perubahan itu menyangkut sistemnya tidak lagi berdasarkan pada peredaran matahari melainkan didasarkan pada peredaran bulan yang disenyawakan dengan sistem perhitungan tahun hijriyah sehingga nama-nama bulan ditetapkan dengan urut-urutan sebagai berikut Suro, Sapar, Mulud, Bakdomulud, Jumadil Awal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkaidah (selo), dan Besar. Kalender ini cukup istimewa karena memadukan budaya Islam, budaya Hindu-Budha Jawa, bahkan budaya barat. 

Dalam sistem kalender Jawa siklus hari yang dipakai ada dua yaitu siklus mingguan yang terdiri dari 7 hari yang seperti kita kenal sekarang dan siklus pecan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran. Tidak ada literatur pasti yang memberikan informasi tentang sejarah ramalan Weton. Namun yang pasti mengenai ramalan sifat ataupun karakter menurut weton tersebut dibukukan dalam buku Primbon faktanya Primbon ini juga memiliki berbagai versi menurut beberapa para tokoh Jawa.

Setiap hari dalam sistem weton Jawa juga memiliki sifat-sifat yang unik yang  mencerminkan karakter dan perilaku individu yang dilahirkan pada hari tersebut. Misalnya, pada hari Pahing, seseorang cenderung memiliki sifat "melikan" yang artinya mereka suka kepada barang yang terlihat atau tampak. Mereka mungkin memiliki ketertarikan pada penampilan dan hal-hal yang bersifat visual. Di sisi lain, individu yang dilahirkan pada hari Pon cenderung memiliki sifat “pamer” yang berarti mereka suka memamerkan harta milik mereka. Mereka mungkin memiliki dorongan untuk menunjukkan keberhasilan dan kekayaan yang mereka miliki. Hari Wage memiliki sifat “kedher”, yang menggambarkan kekakuan hati. Individu yang lahir pada hari ini mungkin cenderung teguh dalam keyakinan dan prinsip mereka. Kliwon memiliki sifat “micara”, yang berarti mereka dapat mengubah bahasa dengan  mudah. Mereka mungkin memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan beragam orang dan menyesuaikan diri dengan situasi yang berbeda. Terakhir, pada hari Legi, individu cenderung memiliki sifat “komat” yang artinya mereka sanggup menerima segala macam keadaan. Mereka memiliki kemampuan fleksibilitas dan adaptasi yang kuat dalam menghadapi berbagai situasi hidup.

Sartono Kartodirdjo, menjelaskan bahwa di  dalam masyarakat tradisional pola kehidupan diatur oleh kaidah-kaidah dari nenek moyang yang terus berlaku hingga menjadi tradisi sehingga memperkuat keseimbangan hubungan sosial dalam bermasyarakat yang semuanya menimbulkan rasa aman dan tentram dengan kepastian yang dihadapi. Oleh sebab itu, tradisi yang dianggap suci atau memiliki nilainya tersendiri, harus dihormati.

Perhitungan Weton Jodoh Masyarakat Jawa

Dalam menentukan suatu acara pernikahan kebanyakan masyarakat Jawa mendasar pada hari yang berjumlah 7 (senin-minggu) dan pasarannya yang berjumlah ada 5. Setiap hari dan pasarannya mempunyai pola tersendiri dalam menentukan hari dan pasaran tersebut adapun nilai dan pasarannya sebagai berikut:

Pada perhitungan jawa menggunakan hari neptu, yaitu hari ahad = 5, neptu senin = 4, neptu selasa = 3, neptu rabu = 7, neptu kamis = 8, neptu jumat = 6, neptu sabtu = 9 dan neptu pasaran, neptu kliwon = 8, neptu legi = 5, neptu pahing = 9 ,neptu pon=7, neptu wage = 4.

Hasil hitungan weton kedua pasangan, yaitu Pegat (1,9,17,25,33), Ratu (2,10,18,26,34), Jodoh (3,11,19,27,35), Topo (4,12,20,28,36), Tinari (5,13,21,29), Padu (6,14,22,30), Sujanaan (7,15,23,31), Pesthi (8,16,24,32).

Mari ke contoh; Reza dan Paramitha, Reza lahir pada hari senin wage dan paramitha lahir pada hari sabtu pahing. Nilai dari hari senin 4, wage 4, sabtu 9, pahing 9, lalu dijumlahkan 4+4+9+9 =26, neptu tersebut dibagi dua 26:2 dan menghasilkan angka 13, maka angka 13 akan menghasilkan pada tinari.

Persepsi budayanya seperti ini ;

Cerai (Pegat)
Pasangan akan menghadapi masalah yang berujung perceraian. Weton ini banyak dihindari karena kemungkinan terburuk akan terjadi perceraian. Solusinya banyak berbagi ke anak anak yatim piatu dan juga janda janda jompo serta banyak ikhtiar dan berdoa, mendekatkan diri dan banyak bersyukur kepada Allah.

Ratu (Diratukan)
Pasangan iniditakdirkan berjodoh dan disegani oleh banyak masyarakat. Pasangan ini membuat iri orang orang karena rumah tangganya yang dibangun begitu damai.

Jodoh (Jodoh)
Artinya pasangan ini dapat membangun hubungan yang ahrmonis sampai akhir hayat. Pasangan saling menerima kelebihan dan kekurangan masing masing. 

Topo (Masalah)
Kehisupan awal yang dibina akan menemi banyak masalah, akan tetapi sejalannya waktu dan selama pasangan tersebut bisa bertahanmaka akan baik baik saja dan harmonis. Masalah disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya ekonomi. Namun setelah memiliki keturunan dan lamanya berkeluarga, akan membuat hidup mereka berakhir bahagia. Meraka banyak prihatin, menghadapi cobaan serta godaan. Pasangan yang tidak mampu menghadapi masalah cobaan serta godaan di awal pernikahan akan bercerai. Jika mampu bertahan makan akan mendapatkan kebahagiaan dan keharmonisan. Harus tahu bagaimana menyikapi permasalahan dalam rumah tangga.

Tinari (Bahagia)
Pasangan ini diberi kemudahan mencari rezeki dan hidup bahagia, keluarga akan harmonis. Hidupnya diselimuti keberuntungan dna kesuksesan. 

Padu (Pertengkaran)
Akan sering terjadi cekcok dan pertengkaran. Bisa berpisah jika tidak bijaksana menghadapinya. Tergantung bagaimana pasangan itu menyelesaikan masalahnya karena sebenarnya banyak dimulai dengan hal sepele. Biasanya dihindari dengan melakukan ruwatan dan memilih hari pernikahan tertentu. Cara tersebut dapat menghindari kesialan.

Sujanan (Perselingkuhan)
Mirip dengan padu dengana danya pertengkaran namun juga ditambah perselingkuhan baik laki laki dan atau perempuan. 

Pesthi (Harmonis)
Merupakan keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah. Keluarganya akan sealu aman, damain, dan tentram serta rukun sampai tua.

“Bagaimana langkah-langkah untuk menghitung weton dalam pernikahan, jadi bagaimana menentukan weton itu baik ataupun buruk?"

"Jadi gini... jangan menggunakan hari cuplak ( hari ketika putusnya tali pusar si bayi). Umumnya 5 hari. Misalnya Selasa pon ( Rabu, Kamis, Jum at, Sabtu, Minggu) hari Minggu ini tidak boleh dipakai untuk pernikahan karena hari Minggu ini adalah hari cuplak. Lalu kalo tidak tahu hari cuplak ya diperkirakan 5 hari Sampai 1 Minggu. Kedua mempelai tidak boleh
menggunakan hari cuplak ya. Setiap daerah itu hitungannya berbeda-beda. Misalnya di tulungagung tidak boleh memakai geblak bapaknya ( hari kematian bapaknya). Dhino neptune manten 2 ( suatu rumus untuk meramal baik buruknya seseorang mengenai rezeki, musibah dan seterusnya menurut orang Jawa pada zaman dahulu). Bukan Nas e tahun ( hari tidak baik), bukan tali wangke ( hari yang dinyatakan baik untuk mengikat segala jenis benda yg berhubungan dengan benda mati), buka nas e nabi , bukan terjaga tanggal , dan mas e Dhino , bukan tanggal kosong (Selasa Wage, Rabu Wage, Kamis pon, Sabtu Kliwon dan
Minggu pahing). Dari 4 hari tersebut masih diperiksa, biasanya orang Jawa sampai tidak menemukan hari, namun kalo tidak menemukan hari yang baik maka nunggu sampai bulan selanjutnya bahkan sampai tahun selanjutnya. Sampai menemukan hari yang istimewa. Kalo misal ingin sekali menikah dan belum menemukan hari yang baik untuk menikah maka dinikahkan dahulu kemudian di anyar-anyar'i atau tajadud ( memperbarui nikah).” Hasil wawancara bapak siswanto (Simamora, 2022).





Referensi : 
Meliana ayu Safitri dan Adriana Mustafa.  2021. Tradisi Perhitungan Weton Dalam 
Pernikahan Masyarakat Jawa di Tega. Dalam jurnal Shautuna. Vol 2 (1) Januari 2021.

Simamora, Andhika, dkk. 2022. Analisis Bentuk dan Makna Perhitungan Weton Pada Tradisi Pernikahan Adat Jawa Masyarakat Desa Ngingit Tumbang (Kajian Antropolinguistik). Dalam Jurnal Budaya FIB UB.Vol 3(1), pp 44-45. https://jurnalbudaya.ub.ac.id.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.